Saturday, March 6, 2010

Ketika Salman al-Farisi Melamar Wanita Anshar

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat dihatinya, tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat dan pilahan menurut perasaa yang halus, juga ruh yang suci.

Tetapi bagaimanapun, ia merasa asing disini, madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya, ia berpikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi madinah, berbicara untuknya dalam khithbah (pelamaran). Maka disampaikanlah niat hati itu kepada sahabat anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda.

“subhanallah walhamdulillaah” girang abu darda mendengarnya.

Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota madinah. Rumah dari seorang wanita yang saleh lagi bertakwa.

“saya adalah abu darda', dan ini adalah saudara saya Salman, orang persia. Allah telah memuliakannya dengan islam dan dia juga telah memuliahkan islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama disisi rasulullah SAW. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri anda untuk dipersuntingnya,” jelas abu darda.

“adalah kehormatan bagi kami” ucap tuan rumah,” ucap tuan rumah, “menerima anda berdua, sahabat rasulullah yang mulia.Dan adalah kehormatan bagi keluarga inibermenantukan seorang sahabat rasulullahyang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan kepada putri kami. “tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang putri menanti dengan segala debar hati.

“maafkan kami atas keterusterangan ini” kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang berbicara mewakili putrinya. “tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap rida Allah saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan salman. Namun jika abu darda` kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan”

jelas sudah, keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah, sang putri lebih tertarik kepada pengantar dari pada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi juga indah karena satu alasan, reaksi salman. Bayangkan sebuah perasaan, dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati, bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya

salman pun berbicara, “Allahu Akbar!” seru salman, “semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan kepada abu darda`, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”


kisah diatas memberikan pelajaran bahwa cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya manusia memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salaman mengajarkan sebuah pelajaran untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit, malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar, untuk tidak mengatakan “merasa dikhianat,`merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya.

Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikamati sesuatu yang bukan miliknya, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa manusia hanya dipinjami.

source : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2920323

Tentang PTC

Kebanyakan dari kita masih kebingungan dengan istilah PTC (Paid To Click) padahal sudah lama sekali Program ini muncul di dunia cyber in...